Solo-jatimsatu.com-Kraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat kembali memanas dengan terjadinya terjadi ketegangan antara dua kubu pendukung Raja Kraton Surakarta, SISKS. Pakoe Boewono (PB) XIII dengan kubu yang tergabung dalam Lembaga Dewan Adat (LDA), Senin (9/10/2023) pagi.
Insiden kecil di sekitar pintu Kori Kamandungan tersebut diduga berawal dari pengajuan eksekusi yang dilakukan oleh Lembaga Dewan Adat (LDA) terhadap putusan MA Nomor 1950-K/Pdt/2022. Namun, Dr. (c) KPAA Ferry Firman Nurwahyu, S.H., M.H. selaku kuasa hukum menyatakan bahwa Amar Putusan Mahkamah Agung (MA) untuk membuka pintu Kori Kamandungan Kraton Surakarta tidak dapat dilaksanakan.
"Bahwa SISKS. Pakoe Boewono XIII sebagai pihak tereksekusi, mempunyai alas hak untuk keberatan menjalankan amar Putusan Kasasi Mahkamah Agung RI No. 1950 K/PDT/2022 tertanggal 29 Agustus 2022, karena amar Putusan Kasasi tersebut tidak mungkin dapat dilaksanakan," ujar Kanjeng Ferry, sapaan akrab kuasa hukum PB XIII tersebut.
Menurutnya, alasan-alasan tersebut meliputi pelanggaran terhadap Undang-Undang Dasar 1945 yang mengakui masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya.
"Melanggar Undang-Undang Dasar 1945 telah menegaskan keberadaan masyarakat hukum adat. Dalam Pasal 18 B ayat (2) UUD 1945 sebagai hasil amandemen kedua menyatakan bahwa negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip negara kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang," jelasnya.
Selain itu, Pasal 18 B ayat (2) UUD 1945 dan pasal 28I ayat (3) UUD 1945 juga diacu sebagai landasan hukum untuk menegaskan penolakan terhadap eksekusi putusan MA.
"Melanggar Pasal 18 B ayat (2) UUD 1945 diperkuat dengan ketentuan pasal 28I ayat (3) UUD 1945 bahwa identitas budaya dan masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban," tegas Kanjeng Ferry. "Selain UUD 1945, beberapa ketentuan peraturan sektoral (berdasarkan urut tahun) juga memberikan jaminan hak-hak masyarakat hukum adat," imbuhnya.
Lebih lanjut Ferry menyampaikan, bahwa eksekusi akan menyebabkan kerugian terhadap hak-hak SISKS. Pakoe Boewono XIII selaku Sri Susuhunan/Raja/Pemimpin dan Penanggung Jawab Tertinggi di Karaton Kasunanan Surakarta Hadiningrat.
"Bahwa apabila eksekusi tetap dilakukan, maka akan menimbulkan kerugian hak-hak SISKS. Pakoe Boewono XIII selaku Sri Susuhunan/Raja/Pemimpin dan Penanggung Jawab Tertinggi di Karaton Kasunanan Surakarta Hadiningrat, yang mempunyai tugas dan wewenang sesuai dengan ketentuan tradisi sejarah dan adat istiadat Karaton Kasunanan Surakarta Hadiningrat yang telah berusia 278 tahun maupun kepentingan hukum SISKS. Pakoe Boewono XIII selaku tereksekusi melebihi dari amar putusan yang telah berkekuatan hukum tetap, baik secara materiel maupun formal," paparnya.
Lebih lanjut Kanjeng Ferry menuturkan, pintu Kori Kamandungan yang sebelumnya ditutup, dalam upaya melindungi Karaton Kasunanan Hadiningrat dari potensi gangguan oleh kelompok tertentu. Kelompok tersebut diduga terus melakukan kekacauan dan merongrong kewibawaan SISKS. Pakoe Boewono XIII, meskipun telah ada putusan hukum yang mengatur perselisihan tersebut.
Ia pun menegaskan, penutupan pintu Kori Kamandungan dianggap sebagai langkah yang ditempuh untuk mempertahankan stabilitas dan kewibawaan Kraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat.
"Bahwa SISKS. Pakoe Boewono XIII selaku Sri Susuhunan/Raja/Pemimpin dan Penanggung Jawab Tertinggi di Karaton Kasunanan Surakarta Hadiningrat, yang mempunyai tugas dan wewenang sesuai dengan ketentuan tradisi sejarah dan adat istiadat Karaton Kasunanan Surakarta Hadiningrat yang telah berusia 278 tahun," tandasnya.(hms/dd)
Posting Komentar